
Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa fenomena pengunduran diri para calon legislatif terpilih untuk maju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2024 adalah cerminan politik transaksional.
Hakim Konstitusi Arsul Sani menyatakan, pengunduran diri caleg terpilih untuk mencalonkan kembali sebagai calon kontestan pemilu adalah bentuk degradasi dari kedaulatan rakyat yang telah memilihnya.
“Fenomena pengunduran diri menurut mahkamah menggambarkan tidak sehatnya praktik berdemokrasi di sejumlah daerah, yang tidak menutup kemungkinan menjadi bersifat transaksional yang mendegradasi perwujudan prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi esensi pemilihan umum,” kata Arsul saat membacakan pertimbangan putusan sengketa nomor 176/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, Jumat (21/3/2025).
Dia juga menjelaskan, mahkamah menilai pengunduran diri para caleg terpilih ini melanggar hak konstitusional sebagai pemegang kedaulatan rakyat yang telah memilih.
Namun demikian, Arsul menegaskan bahwa caleg terpilih tetap bisa mengundurkan diri dengan batasan yang diatur agar tidak melanggar konstitusionalitas warga yang memilih.
Mereka boleh mundur sepanjang dimaksud untuk menjalankan tugas negara dan diangkat mengisi jabatan menteri, dan juga pejabat publik lainnya.
“Artinya jabatan-jabatan tersebut adalah jabatan yang bukan dipilih melalui pemilihan umum, melainkan jabatan berdasarkan pengangkatan,” imbuh dia.
Sebab itu, MK memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan tersebut dengan mengubah norma syarat pengunduran diri caleg terpilih.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan.
“Menyatakan Pasal 426 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum,'” imbuh Suhartoyo lagi.