
Titi Anggraeni menyoroti kebutuhan anggaran senilai Rp 392 miliar untuk pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2024 di 24 daerah yang diambil dari anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) masing-masing.
Dia mengatakan, pelaksanaan PSU yang harus menggunakan uang rakyat itu diakibatkan oleh ketidakprofesionalan penyelenggara, sehingga hasil pemilihan gugur saat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Pelaksanaan PSU akibat ketidakprofesionalan penyelenggara dan perilaku culas peserta mengakibatkan beban daerah berlipat ganda dan pembangunan serta pelayanan publik menjadi tidak optimal mencapai tujuannya,” ujar Titi saat dihubungi melalui pesan singkat, Senin (12/3/2025).
Dia menjelaskan, kerugian tak hanya berhenti di soal keuangan, tetapi juga menyangkut masa depan dan kepastian politik di daerah.
Sebab itu, dia menilai harus ada hukuman berat bagi penyelenggara Pilkada yang berkontribusi dalam terjadinya PSU.
“Mereka harus mendapatkan sanksi terberat karena dampak yang mereka kontribusikan pada kerugian yang dialami masyarakat dan negara,” katanya.
Titi menilai, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan Bawaslu RI sebagai pimpinan puncak penyelenggara pemilu harus mengambil langkah konkret dalam penindakan disiplin.
Pengajar hukum pemilu UI ini juga mengimbau agar para pihak yang merasa dirugikan akibat ketidakprofesionalan penyelenggara pilkada bisa melaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Dia juga menyinggung PSU yang disebabkan oleh peserta pemilu.
Titi menilai, pembentuk Undang-Undang harus proaktif mengatur sanksi yang memberikan efek jera kepada peserta pilkada yang terbukti curang dan menyebabkan PSU terjadi.
“Ke depan pembentuk UU perlu mengatur bahwa peserta pilkada yang terbukti curang dan menyebabkan PSU seharusnya tidak boleh mengikuti pemilu dan pilkada setidaknya untuk satu periode berikutnya,” tandasnya.
Sebagai informasi, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan DPR-RI, Senin (10/3/2025) tercatat anggaran yang diperlukan untuk menggelar PSU di 26 daerah yakni Rp 392 miliar.
Tertinggi adalah PSU untuk Pilgub Papua yang harus menelan biaya Rp 109 miliar.
Selain itu, terdapat dua kabupaten yang melakukan PSU menyatakan tidak memiliki anggaran, yakni Pasaman dan Boven Digoel.
Pasaman membutuhkan Rp 13,4 miliar, mereka memiliki anggaran sisa Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) sebesar Rp 1,2 miliar, dan kekurangan anggaran sebesar Rp 2,2 miliar.
Kemudian Boven Digoel memperkirakan kebutuhan dana untuk PSU sebesar Rp 31,3 miliar, sisa NPHD Rp 1,2 miliar dan masih membutuhkan bantuan anggaran sebesar Rp 30,1 miliar.