
Pilkada 2024, wajah demokrasi yang tampak justru sebaliknya: prosedural, tapi cacat. Sah secara formal, tapi lumpuh secara substansial.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di berbagai daerah menjadi cermin buram dari proses demokrasi yang alpa akal sehat.
Yang lebih memprihatinkan, kerusakan itu dibayar ulang oleh rakyat. Rakyat membayar untuk kesalahan yang tidak mereka lakukan.
PSU kini tengah berlangsung di enam daerah: Kota Sabang (Aceh), Kabupaten Banggai (Sulawesi Tengah), Kabupaten Bungo (Jambi), Kabupaten Pulau Taliabu (Maluku Utara), Kabupaten Buru (Maluku), dan Kabupaten Kepulauan Talaud (Sulawesi Utara) (Kompas 04/04/2025).
Putusan MK bersifat final dan mengikat. Maka, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak punya pilihan selain melaksanakan ulang pemungutan suara.
Namun, publik harus diajak memahami bahwa PSU bukan sekadar perintah hukum—ia adalah sinyal keras bahwa demokrasi kita tak baik-baik saja.
Total ada 24 daerah yang terkena putusan PSU. Artinya, ada pola kerusakan yang sistemik, bukan insidental.
PSU bukan terjadi karena alam yang tak bersahabat atau bencana luar biasa. PSU terjadi karena kesalahan manusia—penyelenggara yang abai, pengawas yang lalai, dan peserta pemilu yang curang.
Di Banggai, lebih dari 50 tempat pemungutan suara (TPS) harus diulang karena prosedur dilanggar. Di Bungo, 8.412 warga mesti kembali ke TPS karena daftar pemilih bermasalah.
Di Pulau Taliabu, ribuan pemilih harus mengulang hak suaranya karena distribusi logistik yang kacau.
Paling menyayat, semua itu dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Uang rakyat kembali dikuras untuk memperbaiki sistem yang gagal menjaga integritas pemilu.
Dalam sistem hukum kita, PSU memang sah dan dijamin sebagai bentuk koreksi. Namun, koreksi tak boleh menjadi kebiasaan. Apalagi bila koreksi itu dibebankan kembali kepada korban dari proses yang korup.
Dalam konteks ini, PSU bukan hanya problem teknis elektoral. Ia adalah gejala kegagalan struktural dalam penyelenggaraan pemilu.
Jika PSU hanya dianggap sekadar pengulangan teknis, maka kita akan menormalisasi kekacauan. Lama-lama, publik akan berpikir: mencoblos ulang adalah hal lumrah.
Padahal, setiap PSU adalah peristiwa luar biasa, yang menandai rusaknya fondasi utama demokrasi—yaitu kepercayaan.